Santri Harus Semangat Menulis

Menulis merupakan salah satu simbol peradaban manusia. Melalui tulisan, kita bisa tahu ada sesuatu yang ditinggalkan dan diwarikan peradaban masa tertentu. Pondok pesantren merupakan salah satu locus pembentuk peradaban dalam kancah keindonesiaan. Jadi, sepatutnya budaya menulis dikembangkan di ponpes.
Keinginan membentuk budaya menulis dan memajukan pondok pesantren ditangkap Harian Suara Merdeka dengan menggerakan "Santri Menulis" tiap Ramadan. Gerakan ini patut diapresiasi. Diharapkan gerakan ini akan meningkatkan budaya menulis di kalangan santri pondok pesantren di Jawa Tengah. Lebih jauh lagi, akan memberi warna tersendiri bagi ‘’peradaban’’ santri yang bermukim di ponpes.
Namun gerakan ini diharapkan menjadi kail, menjadi pendorong awal, untuk bisa dikembangkan lebih jauh. Tak bisa disangkal, budaya menulis berperan penting dalam perkembangan peradaban manusia. ”Ilmu itu bagaikan hewan peliharaan. Maka ikatlah ia dengan tulisan,” demikian pesan sahabat Ali bin Abi Thalib terkait pentingnya budaya menulis.
Pepatah sahabat Ali bin Abi Talib juga berlaku pada sejarah peradaban Islam. Pada masa permulaan, Nabi Muhammad memerintah beberapa sahabat untuk menulis tiap kali Beliau menerima firman dari Allah Swt. Bahkan Nabi punya sekretaris khusus untuk urusan ini. Hadis, segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi, yang awalnya bertahan dalam tradisi lisan akhirnya dituliskan oleh para tabi’in.
Empat imam mazhab yang populer dalam Islam, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali, meninggalkan karya berupa tulisan yang masih bertahan hingga saat ini. Pada perkembangan Islam Nusantara, para ulama di Tanah Air juga tak ketinggalan mewariskan karya berupa tulisan.
Menulis Buku
Kita mengenal KH Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH Bisri Musthofa (Rembang), KH Ali Maksum (yogyakarta), dan lain-lain. Mereka adalah di antara orang yang memandang pentingnya menulis untuk perkembangan peradaban manusia. Kini kita mengenal beberapa kiai jebolan pesantren yang rajin menulis.
Bisa disebutkan antara lain, Gus Solahudin Wahid (Jombang), Kiai Zamawi Imron (Madura), Gus Mustofa Bisri (Rembang), Gus Dur (Ciganjur). Namun jumlah itu hanya sebagian kecil dari ribuan kiai atau ulama di Indonesia.
Menarik juga ide Yusuf Mansur untuk menggenjot santrinya bisa dan mau menulis, dalam tweet-nya (16/6) ia menyebutkan, ”DQ tahun ini menetapkan tambahan standar kelulusan berupa kudu menulis buku. Setiap santri hrs bs nulis.” Memang secara umum tampak ada kecenderungan tradisi menulis makin luntur di pesantren.
Penyebabnya, di samping budaya bertutur dan mendengar cukup dominan, ada ketakutan bagi khalayak pesantren untuk menulis. Paradigma bahwa menulis harus berbahasa Arab masih sangat kental dipegang masyarakat pesantren. Jika ingin menulis, harus memakai Bahasa Arab. Padahal kita hidup di tengah masyarakat yang menggunakan bahasa selain Bahasa Arab untuk pergaulan sehari-hari.
Tentu terkesan berat juga jika harus menulis dengan Bahasa Arab. Namun pemikiran seperti itu harus diubah mengingat menulis tidak harus dalam Bahasa Arab. Yang terpenting ada pergesekan ide dan gagasan brilian dari dunia pesantren. Pesantren bisa meneladani beberapa kiai yang mau menulis dalam Bahasa Indonesia, meskipun mereka fasih berbahasa Arab.
Sebut saja Kiai Mujab Mahalli (Bantul), Gus Zainal Arifin Thoha (Yogyakarta), Kiai Bahauddin Mudhari (Sumenep), Kiai Muhyiddin (Jember), dan masih banyak lagi. Tidak ada alasan, pesantren harus terus mengembangkan budaya menulis. Dengan menulis, berarti pesantren juga nguri-uri kebiasaan yang dilakoni para sahabat, tabi’in, dan ulama besar dalam rentetan sejarah Islam.
—Ust  Ahmad Munif, dosen di UIN Walisongo, Pembina Ponpes Life Skill

No comments:

Post a Comment

Pages