Ath-thahiriyyah, kawah candradimuka
Melanjutkan kuliah di tanah banten sama sekali tak pernah terlintas dalam fikiranku sebelumnya. Selepas purnabelajar di sekolah menengah atas, prioritasku adalah kota pelajar jogjakarta setelah itu kota pempek palembang. Namun kompas kehidupan menuntunku menjejaki tanah jawara, Banten. Walau agaknya sedikit melenceng dari mapping live yang sedari duduk di bangku kelas X sudah ku rancang. Setidaknya aku bangga berkesempatan menuntut ilmu di tanah Banten, yang memiliki ulama sepandai Imam Nawawi dan mujahid sehebat Imam Samudra.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk beradaptasi di kota serang, ibu kota provinsi Banten yang mayoritas penduduknya suku jawa dan sunda. Sudah menjadi tekadku sembari menyelesaikan kuliah aku akan mondok di pesantren, kedengarannya nyantri hanya sebagai sambilan? Tentu tidak! Santri di pondok biasanya tak suka jika dibilang sekolah sambil mondok, karena menurutnya harusnya mondok sambil sekolah (kuliah). Memang benar, tapi menurutku bukan itu esensinya, toh faktanya aku mendaftar kuliah dulu baru setelah itu mencari pondokkan dan mungkin juga banyak di antara teman-temanku yang seperti itu. Bukan maksudku tidak mengutamakan pondok pesantren. Hanya saja, seharusnya tak ada dikotomi (pemisahan) antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Bagiku, belajar biologi adalah belajar fikih tentang kehidupan, belajar fisika adalah fikih tentang alam semesta dan lain sebagainya. Sehingga kita tidak terjebak pada retorika hampa.
Mungkin sudah menjadi jodohku dari sekian banyak pesantren yang terdaftar di list website Rabithah Ma'ahid Islamiyyah (biasa disingkat RMI, salah satu banom NU spesialis pesantren-pesantren nahdliyyin, maklumlah aku lahir dari keluarga nahdliyyin dan tumbuh dalam kultur masyarakat nahdliyyin.) Pilihanku justru jatuh pada pesantren yang sama sekali tidak terdaftar dalam RMI, namun lucunya salah satu ustad yang langganan mengajar ngaji adalah sekretaris RMI kota Serang sendiri. Ya, At-Thahiriyyah. Pesantren yang namanya diilhami dari nama pendirinya, K.H. Abuya Hasuri Thohir, kyai yang sudah belasan tahun mengaji dan mengajar di Makkah. Syahdan, pada masa mudanya beliau pergi ke Mekkah untuk menimba ilmu namun setelah sampai di tanah haram justru beliau dipinta untuk mengajar karena keluasan ilmunya. Beliau juga adik kelas dari ulama kharismatik Banten, Abuya Dimyati ketika masih di pesantren.
Kini beliau masih aktif mengajar walau usianya hampir genap seabad. Bahkan mempunyai jadwal istimewa setiap hari ahad pagi. Semangatnya masih membara, saat mengajar suaranya lantang walau tubuhnya sudah dimakan usia. Komitmennya pada agama juga tak perlu diragukan, suatu ketika aku bertanya bagaimana hukum menerapkan syariat islam dalam kehidupan bermasyarakat, dengan tegas beliau menjawab hukumnya wajib. Setelah itu beliau menunjuk ke arah foto yang ada di dinding kamar (Menurut teman yang lebih senior itu adalah foto almarhum mertuanya) dengan terbata beliau mengungkapkan bahwa orang yang ada di foto itu zaman dulu pernah di angkat menjadi semacam bupati namun ia menolaknya karena tidak ada komitmen penerapan hukum islam.
At-thahiriyyah punya ruang tersendiri di hatiku, pesantren yang usianya dua kali lipat lebih tua dari usiaku ini, telah memberiku pengalaman belajar agama dengan pondasi nilai-nilai dan metode tradisional yang tidak kaku dengan perkembangan zaman tapi juga tidak larut dalam arus kemoderen-an. Bagiku pesantren At-Thahiriyyah adalah kawah candradimuka. Di mana potensi intelektual, spiritual dan emosional di tempa. Pergumulanku dengan para ulama dan santri semakin membuatku paham akan makna nasihat "Jadilah ulama yang intelek, bukan intelektual yang ulama."
Wajar saja, pasalnya dunia ini tak ubahnya fatamorgana yang di kanan dan kiri dari depan dan belakang menawarkan pesona duniawi mulai dari kemewahan para hedonis, provokasi para sosialis, hingga kegundahan para filosofis. Sehingga jika lengah dan tak memiliki bekal, maka dunia ini seolah labirin yang tak ada ujungnya. Karena itu, pesantren At-Thahiriyyah yang masih menjaga keorisinilan kultur budaya dan turats (kitab kuning) para ulama, seperti budaya sorogan, bandungan, dan mutholaah walau terkesan tidak ilmiah namun justru di sinilah khazanah keilmuan bersanad hingga kepada Rasulullah SAW. Meski terkadang kadar kecerdasan seorang santri tak cukup mumpuni. Tapi, siapa yang tahu letak keberkahan? Tak jarang keberkahan justru muncul dari kecerdasan biasa-biasa saja yang dibalut keikhlasan. Tak sedikit orang yang dipandang sebelah mata justru di masa depan tumbuh menjadi orang besar dan bijaksana. Karena tugas seseorang pembelajar hanyalah ikhtiar maksimal yang diiringi doa dan ditutup dengan tawakkal. Wallahualam. (Dedicated for At-Thahiriyyah santri's)
No comments:
Post a Comment