Gunung Selamet dan Islam Nusantara

Santrinews.net -Selama di Kampung halaman bapak, saya dan anak-anak selalu dengarkan cerita tentang Gunung Slamet dari orang-orang kampung. Merupakan tradisi bagi orang-orang di kampung, mendaki Gunung Slamet hingga ke pinggiran kawah. Mbah saya sendiri semasa hidup sudah tujuh kali mendaki dan sampai di puncak Gunung Slamet yang menarik dari kisah tentang Gunung Slamet adalah misteri yang menyelimutinya. Dari namanya pun Gunung ini memiliki keunikan.
  Hampir sebagian besar gunung di Indonesia bernama Sanksekerta atau nama bahasa setempat. Tapi tidak untuk Gunung Slamet. Meskipun terkesan njawani, tapi nama Slamet adalah nama asimilasi yang bernafaskan Islam dari aspek penyebutan dan juga makna.

Keunikan yang dimiliki Gunung Slamet tidak saja terdapat pada nama. Sepupu saya, yang sudah 7 kali bolak balik mencapai puncak Gunung Slamet menegaskan bahwa banyak aspek di luar rasionalitas para pendaki profesional, yang sering dijumpai dalam proses pendakian Slamet.
Ia menuturkan bahwa bisa saja seseorang yang mampu taklukkan gunung-gunung lain, atau bahkan Gunung Everest yang merupakan gunung tertinggi di dunia, gagal mencapai puncak Slamet. Ia bahkan mengatakan,

"bahkan orang yang semula diremehkan mampu mencapai puncak Slamet, dalam kenyataan justru mampu sampai di puncak."
Keterangan sepupu itu, pada waktu yang berbeda, diamini oleh penjelasan paman saya, ayah dari Gus Fauzan Adib. Paman yang sudah pernah mencapai puncak Slamet itu menuturkan bahkan di Puncak Slamet, adab dan sunnah Rosul harus dijaga supaya selamat dalam proses naik-turun.
Keterangan dari dua orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda itu mendorong saya untuk memahami fenomena Gunung Slamet, khususnya dari masyarakat lereng utara. Perjalanan di beberapa desa seperti Pulasari, Karangsari, Sima, Patoman, Banjaran, Plakaran, Limbangan, dan Belik, memberikaqn beberapa asumsi yang saya kira menarik untuk dipelajari.
Tradisi masyarakat lereng Gunung Slamet khususnya lereng utara adalah tradisi Islam. Meskipun tidak ditegaskan dengan istilah Arab, seperti mitoni 4 bulan, rasulan dan debaan, tradisi-tradisi itu bisa ditemukan legitimasinya di dalam kitab-kitab sunnah seperti Mu'jam al-Zawaaid atau Mu'jam al-Thobrony.
Bagi masyarakat lereng utara, mendawamkan bacaan sholawat sebelum azan shubuh merupakan "keharusan" untuk menjaga harmoni Alam. Jika di lereng Merapi pada masa lalu, seperti dituturkan Kyai Ahmad Baso, sering dibacakan Shohih al-Bukhory agar Gunung itu tidak mengamuk, maka Gunung Slamet mungkin cukup dengan solawat Nabi yang dilantukan para penghuninya.
Tidak sampai di situ.

Beberapa tempat yang diduga sebagai petilasan di Gunung Slamet mempunyai nama seperti nama para nabi, semisal petilasan Mbah Soleh di arah Purwokerto dan Mbah Sulaiman di arah Bumiayu.
Simpulan sementara saya, Gunung Slamet bukan sekedar sebuah gunung yang menyimpan banyak misteri. Tapi, Gunung ini adalah representasi dari wujud Islam yang menusantara di bumi Indonesia.

Oleh -KH Abdi Kurnia Djohan.

SEKILAS TENTANG GUNUNG SLAMET


Gunung Slamet yang terletak di perbatasan Kabupaten Tegal, Pemalang, Brebes, Banyumas dan Purbalingga ituberketinggian 3.428 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Bercerita tentang gunung, selalu ada mitos dan cerita rakyat yang berkembang. Tak ubahnya Gunung Slamet, gunung yang masuk di posisi kedua tertinggi di Indonesia setelah Gunung Semeru itu juga memiliki cerita sendiri.
Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat .Gunung Slamet pertama kali diberi nama oleh Syeh Maulana Maghribi, seorang penyebar agama Islam yang berasal dari negeri Rum-Turki. Di sana, dia merupakan seorang pangeran.
Suatu hari, setelah melaksanakan ibadah salat Subuh, Syeh Maulana melihat cahaya misterus yang menjulang tinggi di angkasa. Sang Pangeran itu merasa tertarik dan ingin mengetahui sumber cahaya misterius itu.
Beliau-pun memutuskan untuk menyelidikinya sembari menyebarkan agama Islam dengan ditemani pengikutnya yang sangat setia, bernama Haji Datuk, serta ratusan pengawal kerajaan. Mereka berlayar menuju ke arah sumber cahaya misterius.
Namun, ketika kapal yang ditumpanginya tiba di pantai Gresik, Jawa Timur, tiba-tiba cahaya tersebut muncul kembali  di sebelah barat. Dia pun memutuskan untuk ke arah barat hingga sampai di pantai Pemalang, Jawa Tengah.
Di pantai Pemalang, Syeh Maulana menyuruh hulu balangnya untuk pulang ke Turki. Sementara beliau melanjutkan perjalanannya dengan ditemani Haji Datuk dengan berjalan kaki ke arah selatan sambil menyebarkan agama Islam.
Ketika cahaya tersebut melewati daerah Banjar, tiba-tiba beliau menderita sakit gatal di sekujur tubuhnya dan penyakit gatalnya itu pun sulit disembuhkan.
Suatu malam, setelah menjalankan salat tahajjud, Syeh Maulana mendapat ilham jika beliau harus pergi ke Gunung Gora. Setibanya di lereng Gunung Gora, beliau meminta Haji Datuk untuk meninggalkannya sendiri dan menunggu di suatu tempat yang mengeluarkan kepulan asap. Ternyata di situ ada sumber air panas yang mempunyai tujuh buah pancuran. Syeh Maulana memutuskan tinggal di sana untuk berobat dengan mandi secara teratur di sumber air panas yang memiliki tujuh buah mata air.
Berkat kemanjuran air panas dan pertolongan dari Gusti Allah SWT , akhirnya penyakit yang dideritanya sembuh total. Kemudian Syeh Maulana memberi nama tempat ini menjadi Pancuran Tujuh.
Penduduk sekitar menyebut Syeh Maulana dengan nama Mbah Atas Angin karena datang dari negeri yang jauh. Kemudian Syeh Maulana Maghribi memberi gelar kepada Haji Datuk dengan sebutan Rusuludi yang dalam bahasa jawa berarti Batur Kang Adi (Abdi yang setia).
Sementara desa itu kemudian dikenal dengan sebutan Baturadi yang lama kelamaan menjadi Baturaden yang dalam penulisannya menggunakan satu "R" yaitu: Baturaden. Karena Syeh Maulana mendapat kesembuhan penyakit gatal dan keselamatan di lereng Gunung Gora maka beliau mengganti nama menjadi Gunung Slamet.
(Diolah dari berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment

Pages