Dedi Mulyadi: Saya Bukan Penganut Sundaisme, Tapi Apresiator Kearifan Lokal Kesundaan

DEDI MULYADI: “saya menjunjung kearifan lokal Sunda, berislam dengan nilai, dan menjunjung kebudayaan nasional.”

Purwakarta.Santrinews-net.  Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta, belakangan ini tidak hanya sibuk urusan publik melayani masyarakatnya di Purwakarta melainkan juga sibuk urusan polemik dan gugatankelompok Islam yang menuduhnya melakukan penistaan terhadap agama terus berlangsung.

Di luar urusan sebagai kepala Daerah, Bupati yang satu ini memang dikenal sibuk sebagai narasumber kebudayaan. Ia banyak berbicara tentang nilai-nilai kesundaan. Bahkan saking kuatnya mengusung ide-ide kesundaan ia pun sering dicap sebagai pengusung sundaisme. Itulah mengapa banyak kelompok Islam formal menganggap bupati ini syirik, musyrik dan bahkan dianggap menyebarkan kesesatan. Sementara dalam pandangan Dedi Mulyadi sendiri masalahnya dianggap sederhana.

“Saya dianggap dominan bicara tentang ide-ide kesundaan mungkin karena tidak ada bupati lain yang bicara soal itu. Mungkin kalau di Jawa Tengah atau Jawa Timur tidak akan terjadi kontroversi. Soal saya bicara kesundaan karena memang saya hidup di Sunda. Kalau saya sebagai orang non sunda, ya saya akan bicara jati diri budaya sesuai kultur saya hidup. Kalau saya jadi Bupati di Batak ya saya bicara kearifan Batak. Kalau saya jadi bupati di Papua tentu saya bicara kearifan lokal papua. Saya bukan penganut Sundaisme, tetapi apresiator kearifan lokal kesundaan,” terangnya kepada Katakini.com 23 Desember 2015 lalu.

Bupati yang satu ini dikenal banyak memainkan kebijakan-kebijakan publik di Purwakarta dengan mengusung kearifan lokal. Ia serukan nilai-nilai kekeluargaan dan kewargaan berbasis kemandirian hidup, sikap peduli lingkungan, peduli sesama melalui gotong royong dan seterusnya.

Ia merasa menjadi orang Sunda karena hidup dalam domain kesundaan. Sedangkan pada sekup nasional ia merasa menjadi orang Indonesia. Ditanya apakah dirinya orang Sunda atau orang NU, Ia menjawab “saya adalah orang Sunda yang NU.” Kemudian ketika ditanya apakah dirinya orang Islam atau orang Indonesia, ia jawab “saya orang Indonesia yang beragama Islam”.

“Sebagai orang Indonesia yang berkultur Sunda dan beragama Islam, saya peduli urusan kebudayaan. Islam yang saya usung adalah nilai, bukan Islam formal sebab dalam pandangan saya Islam itu adalah nilai, bukan formalisme. Jadi saya ini orang Islam yang karena saya berada di Sunda, maka Islam saya Islam yang selaras dengan budaya Sunda. Saya seorang muslim yang hidup dalam etnik Sunda, memilih NU sebagai afiliasi gerakan keagamaan, bekebangsaan Indonesia. Karena itulah saya menjunjung kearifan lokal Sunda, berislam dengan nilai, dan menjunjung kebudayaan nasional,” terangnya.

MERASA SEBAGAI BAGIAN NU

Kalau kebanyakan politisi berafiliasi pada organisasi kemasyarakatan, kecenderungan pragmatisme memanfaatkan organisasi massa untuk kepentingan karir politiknya lebih menonjol. Hal tersebut mudah dideteksi dengan sikap dan visi yang tidak jelas. Tetapi pada diri Dedi Mulyadi, ada semacam alasan mengapa ia merasa menjadi NU dan bukan sekadar merasa menjadi pengurus NU.

“Saya memilih Nahdlatul Ulama karena buat saya itulah yang paling tepat. NU sejak dulu bergerak dalam arus kebudayaan. Kerja dakwahnya mengikuti garis walisongo yang mengedepankan kepedulian pada local wisdom,” jelasnya.

Dedi menegaskan bahwa model dakwah Walisongo melalui jalur kultural dengan mengawinkan kearifan nilai agama dengan kearifan lokal itulah yang membuat Islam berkembang secara  dinamis, tanpa konflik, dan mampu membawa semangat kemanusiaan, semangat etos kerja dan lebih dari itu mampu membawa kembali jati diri serta tidak mengimpor kebudayaan asing.

“Dengan keyakinan akan model seperti itu, saya ingin menegaskan bahwa mengambil pelajaran atas nilai-nilai kemanusiaan kita bisa secara terbuka mengambil dari manapun, termasuk dari Arab, tetapi dalam urusan kebudayaan kita harus kembali pada jati diri kita sendiri,” tegasnya.-

#Sumber -katakini.

No comments:

Post a Comment

Pages