Berbicara pesantren, mungkin diperlukan ratusan atau bahkan ribuan kertas untuk menuangkan segala macam gagasan dan ide untuk mengulas secara luas dari sistem pendidikan yang murni dimiliki oleh Indonesia ini (Indigenous Culture for Eduacation). Tidak kurang lebih dari puluhan orang doktor atau master lahir karena meneliti pesantren dalam laporan ilmiahnya, baik tesis atau disertasi. Sebut saja di antaranya Ahmad Baso (walaupun kajiaannya tidak berbentuk disertasi atau tesis) dengan "Pesantren Studies-nya", Mastuhu dengan " Sistem Pendidikan Pesanteren-nya", Sukamto dengan "Kepemimpinan Kyai Dalam Pesantren" dan lain sebagainya. Ini membuktikan bahwa pesantren mulai sejak pra sampai pasca kemerdekaan mempunyai andil besar kepada NKRI.
Bagi pegiat kajian kepesantrenan, nama Zamakhsyari Dhafir menjadi primadona lewat disertasi yang ditulis tahun 80-an. "Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia" adalah studi awal mengenai pesantren yang menjadi buku babon (buku induk) dan rujukan bagi antropolog yang concern di kajian kepesantrenan. Memang sebelum Zamakhsyari, ada juga antropolog kenamaan yaitu "Cliffort Geertz" yang meneliti prilaku kehidupan Santri, Abangan, dan Kyai. Laporan atas penelitiannya itu kemudian menjadi sebuah buku yang menggegerkan dunia pesantren, yaitu "Religion of Java". Saya katakan menggegerkan, karena menurut sebagan besar orang-orang pesantren, buku tersebut agak dan memang cukup kontroversial. Tetapi walaupun begitu, kita tidak bisa menegasikan bahwa di satu sisi ia cukup berperan dalam mengurai perjalanan pesantren dari sejak awalnya masuknya Islam, sampai abad 20. Namun ada yang perlu dikritisi secara serius dari kesimpulan yang ditarik oleh Geertz, salah satunya adalah terkait klasifikasi orang-orang pesantren sebagai komunitas Islam "kolot".
Alasan Geertz di atas berdasar temuan yang melekat pada diri santri yang menerima konsep sinkretisme (kolaborasi antar kepercayaan) di mana dalam realitanya yang dimaksud Geertz di atas bukan pada pengertian istilah santri secara umum, tetapi lebih kepada kaum abangan. Menurut Geertz, ciri abangan tidak lepas dari campuran antara kehidupan keagamaan yang bersifat animistis, Hindu-Buddhistis, dan Islam. (Baca Tradisi Pesantren, Zamakhsyari Dhafir: 2011: 10). Kesimpulan itulah yang kemudian melahirkan bantahan dengan beragam argumentasi yang dibangun oleh Zamakhsyari Dhafir. Ia menuturkan bahwa pernyataan Geertz sebetulnya terlalu berlebihan dan cenderung subyektif. Ada yang luput dari pengamatan Geertz dalam penelitiaanya, yaitu masalah etnografis dan kedalaman masalah yang dibahas terutama yang berkaitan dengan pendekatan sejarah (Historical Approaching) pesantren. (Zamakhsyari Dhafir: 2011: 13).
Jika boleh saya membela argumentasi Geertz tentang kesimpulan kontroversial yang ia kemukakan terkait Islam kolot yang disematkan kepada para santri dan elemen-elemen yang ada di pesantren. Itu sebenarnya (menurut dugaan saya) karena saat itu pesantren masih an sich kepada model pembelajaran yang konservatif. Artinya adalah seorang santri harus atau terkesan wajib menerima segala bentuk titah yang dilontarkan oleh kyai/ustadz. Doktrin inilah yang kemudian membuat santri tidak mampu membangun sikap kritis dan tidak terbuka terhadap perkembangan zaman yang semakin hari semakin kompleks, sehingga mau tidak mau dinamisasi Islam sebagai sebuah dogma harus direalisasikan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, Zamakhsyari menyebutkan, model pembelajaran pesantren dengan sistem sorogan dan bendongan sebagai alat dalam menerjemahkan kitab tidak hanya sekedar membaca teks dalam arti konservatif pada teks, namun juga harus ada kontekstualisasi terhadap teks yang ada.
KH. Sahal Mahfudz (1999) dalam “Pesantren Mencari Makna” menyebutkan bahwa jika dalam memahami suatu kitab seorang santri terjebak ke dalam jurang konservatisme teks, maka hal itu akan melahirkan sebuah kesenjangan terhadap dinamika umat yang membutuhkan solusi atas permasalahan yang ada. Dalam bahtsul masaail misalnya tidak jarang kita dapati pelbagai persoalan yang harus berakhir di kata “Mauquf”. itu sebenarnya karena hal-hal yang bersifat out of date di dalam kitab kuning dipaksakan untuk dijadikan sebagai jawaban dari pelbagai persoalan yang kian hari kian kompleks. Oleh karena itu KH. Sahal Mahfudz memberikan dorongan (saya memahaminya sebagai ultimatum) kepada para kyai atau elemen-elemen yang ada di pesantren untuk tidak berhenti dalam melakukan pembaharuan penafsiran dan kontekstualisasi atas teks yang ada. Tujuannya adalah agar tidak ada stagnasi ilmiah. (baca Pesantren Mencari Makna KH. Sahal Mahfudz, 1999: 104).
Sebagai seorang santri, saya tidak ingin ke depan pesantren kalah dalam bersaing dengan lembaga-lembaga di luarnya terutama dalam spirit keilmuan. Pesantren diharapkan mampu bersaing dalam segala hal dengan berbagai macam dimensi yang ada. Dinamisasi hukum dan kontekstualisasi teks harus menjadi acuan utama dalam pembelajaran di pesantren. Tidak hanya itu metodologi yang dipakai dalam mengkaji agama tidak hanya melalui pendekatan teologis semata. Ada aspek lain yang harus diperhatikan, yakni pendekatan antropologis, sosiologis dan lain sebagainya, sehingga ke depan Islam dengan ajarannya yang dinamis, akan tetap eksis dan menjadi way of life atau bahkan menjadi way of death sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah Wa Laa Tamuutunna Illa Wa Antum Muslimun. Wallahu A’lam Bis Shawab.
Mohammad Khoiron
Wakil Ketua IPNU DKI Jakarta
Twitter: @MohKhoiron
Jakarta, 04 Januari 2016.
No comments:
Post a Comment